Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia telah menerbitkan&nbsp;<a href="https://www.pajakku.com/tax-guide/fa0692b1-5c00-414e-ab1d-af7bc87a4bee/PER_MENKEU/81-TAHUN-2024">Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81/2024</a> yang mengatur tentang ketentuan pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau yang biasa dikenal dengan Core Tax Administration System (CTAS).&nbsp;Terbitnya PMK ini berdampak pada 42 peraturan yang masih berlaku saat ini. Regulasi pada PMK 81/2024 menjadi pijakan utama bagi implementasi coretax&nbsp;yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025.&nbsp;&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Ruang Lingkup PMK 81/2024</h2>&nbsp;Secara keseluruhan, peraturan ini terdiri atas 11 bab dan 484 pasal yang mengatur tujuh ruang lingkup utama menurut Pasal 2&nbsp;<a href="https://www.pajakku.com/tax-guide/fa0692b1-5c00-414e-ab1d-af7bc87a4bee/PER_MENKEU/81-TAHUN-2024">PMK 81/2024</a>. Berikut adalah rincian 7 ruang lingkup tersebut:&nbsp;1. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan ElektronikPeraturan ini menjabarkan tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan, serta proses penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman dokumen serta keputusan secara elektronik.&nbsp;&nbsp;2. Pendaftaran Wajib Pajak, Pengukuhan PKP, dan Objek Pajak PBBBab-bab dalam PMK 81/2024 turut menjelaskan tata cara pendaftaran wajib pajak orang pribadi maupun badan, pengukuhan PKP, serta pendaftaran objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).&nbsp;&nbsp;3. Pembayaran dan Penyetoran PajakPeraturan ini merinci prosedur pembayaran dan penyetoran pajak, tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga.&nbsp;&nbsp;4. Penyampaian dan Pengolahan Surat Pemberitahuan (SPT)PMK 81/2024 mencakup tata cara penyampaian dan pengolahan SPT. Peraturan ini memberikan panduan lengkap tentang format, cara pengisian, serta proses penyerahan SPT secara untuk menjamin kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan kewajiban mereka.&nbsp;5. Layanan Administrasi PerpajakanSalah satu fokus utama dari PMK ini adalah tata cara pemberian layanan administrasi perpajakan yang lebih cepat dan efisien.&nbsp;6.Aturan Teknis Pelaksanaan SIAPPMK 81/2024 menyediakan panduan teknis yang sangat dibutuhkan bagi pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan (SIAP).&nbsp;&nbsp;7. Format dan Contoh Dokumen PerpajakanPeraturan ini juga mencakup contoh format dokumen serta contoh penghitungan, pemungutan, dan pelaporan pajak.&nbsp;&nbsp;&nbsp;<h3>Baca Juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/3ef4585a-0209-4852-9a9b-ab5de808e660/Pengisian-Main-Form-atau-Formulir-Induk-SPT-Tahunan-PPh-Orang-Pribadi-di-Coretax-DJP">Pengisian Main Form atau Formulir Induk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi di Coretax DJP</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Manfaat Coretax Bagi Wajib Pajak</h2>&nbsp;Pelaksanaan Coretax tidak hanya berdampak pada administrasi pajak di internal DJP, tetapi juga membawa berbagai kemudahan bagi Wajib Pajak. Melalui Siaran Pers No. SP-40/2024, beberapa keuntungan utama yang ditawarkan antara lain:&nbsp;<ol><li style="text-align:justify;">Kemudahan Registrasi Pajak: Wajib Pajak kini dapat melakukan registrasi di semua Kantor Pelayanan Pajak (borderless) serta melalui saluran digital yang disediakan oleh DJP atau pihak ketiga (omni channel), dengan validasi data melalui single source of truth.</li><li style="text-align:justify;">Akun Wajib Pajak (Taxpayer Account): &nbsp;Setiap Wajib Pajak akan memiliki Akun Wajib Pajak yang bisa diakses melalui Portal Wajib Pajak secara online, sehingga memudahkan mereka dalam memenuhi kewajiban perpajakan.</li><li style="text-align:justify;">Penyeragaman Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak: Jatuh tempo pembayaran berbagai jenis pajak diseragamkan menjadi tanggal 15 bulan berikutnya, yang diharapkan dapat menyederhanakan tata kelola dan administrasi pembayaran pajak.</li><li style="text-align:justify;">Deposit Pajak: Dengan adanya fitur Deposit Pajak, Wajib Pajak dapat menyimpan dana untuk pembayaran pajak di masa depan, sehingga mengurangi risiko keterlambatan pembayaran.</li><li style="text-align:justify;">Pengajuan Fasilitas PPh yang Lebih Mudah: Proses pengajuan fasilitas pajak penghasilan (PPh) kini lebih mudah tanpa perlu melampirkan Surat Keterangan Fiskal (SKF), asalkan Wajib Pajak telah memenuhi kriteria tertentu.</li><li style="text-align:justify;">Pembayaran Pajak Lebih Fleksibel: Satu kode billing dapat digunakan untuk membayar lebih dari satu jenis pajak, berbeda dengan sistem sebelumnya yang membatasi satu kode billing untuk satu jenis pajak saja.</li><li style="text-align:justify;">Fitur Prepopulated SPT: Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) menjadi lebih mudah dengan fitur prepopulated otomatis. Hal ini mencakup berbagai jenis PPh, termasuk PPh Pasal 21, 15, 22, 23, 25, dan PPh Final Pasal 4 ayat (2), yang sebelumnya sangat bergantung pada pelaporan manual dari pihak pemotong pajak.</li><li style="text-align:justify;">Pendaftaran Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Pendaftaran Nomor Objek Pajak (NOP) dan pelaporan SPOP kini bisa dilakukan di KPP tempat Wajib Pajak Pusat terdaftar.</li></ol>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Rangkuman Isi PMK 81/2024</h2>&nbsp;1. Ketentuan Umum (Pasal 1): Definisi istilah dalam PMK 81/2024&nbsp;2. Ruang Lingkup (Pasal 2):&nbsp;Tujuh ruang lingkup dalam PMK 81/2024&nbsp;3. Hak dan Kewajiban Perpajakan secara Elektronik (Pasal 3–14): Tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan, serta proses penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman dokumen serta keputusan secara elektronik.&nbsp;4. Pendaftaran Wajib Pajak, Pengukuhan PKP, dan Objek Pajak PBB<ul style="list-style-type:disc;"><li style="text-align:justify;">Pendaftaran Wajib Pajak (Pasal 15–59): Tata cara pendaftaran untuk wajib pajak, termasuk pengajuan, perubahan data, dan ketentuan penghapusan NPWP.</li><li style="text-align:justify;">Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) (Pasal 60–70): Prosedur pengukuhan, kriteria, dan syarat-syarat untuk pengusaha kena pajak (PKP).</li><li style="text-align:justify;">Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek PBB (Pasal 71–93): Tata cara daftar, lapor, dan pendataan objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).</li></ul>&nbsp;5. Pembayaran dan Penyetoran Pajak<ul style="list-style-type:disc;"><li style="text-align:justify;">Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Pasal 94–121): Aturan teknis terkait proses pembayaran dan penyetoran pajak.</li><li style="text-align:justify;">Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak (Pasal 122–137): Ketentuan untuk pengajuan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang.</li><li style="text-align:justify;">Pemberian Imbalan Bunga (Pasal 138–149): Aturan mengenai pemberian imbalan bunga atas pembayaran pajak tertentu.</li></ul>&nbsp;6. Penyampaian dan Pengolahan Surat Pemberitahuan (SPT)<ul style="list-style-type:disc;"><li style="text-align:justify;">Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (Pasal 150–160): Tata cara menghitung kelebihan pembayaran dan pengembaliannya.</li><li style="text-align:justify;">Surat Pemberitahuan (SPT) (Pasal 161–190): Prosedur dan ketentuan dalam penyampaian dan pengelolaan SPT.</li><li style="text-align:justify;">PPh atas Pengalihan Hak Tanah/Bangunan (Pasal 191–200): Tata cara pelaporan, pengecualian, dan pembayaran PPh terkait pengalihan hak tanah – bangunan serta perjanjian pengikatan jual beli tanah – bangunan.&nbsp;</li><li style="text-align:justify;">PPh dari Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif (Pasal 201–207): Prosedur pembayaran dan pelaporan atas penghasilan dari pengalihan real estat dengan skema kontrak inverstasi kolektif tertentu.</li><li style="text-align:justify;">Pemotongan dan Pembayaran PPh atas Penghasilan Lain Kontraktor (Pasal 208–216): Ketentuan untuk uplift dan penghasilan serupa yang sejenis atau penghasilan dari pengalihan partisipasi interes.</li><li style="text-align:justify;">Pungutan PPh Pasal 22 (Pasal 217–225): Prosedur pemungutan sehubungan dengan penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.</li><li style="text-align:justify;">Angsuran PPh Tahun Pajak Berjalan (Pasal 226–237): Penghitungan angsuran bagi wajib pajak baru, BUMN, BUMD, wajib pajak masuk bursa, dan lainnya yang harus dibayar sendiri.</li><li style="text-align:justify;">Pemotongan PPh Pasal 26 atas Keuntungan Saham (Pasal 238–240): Ketentuan untuk wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) berupa keuntungan penjualan saham.</li><li style="text-align:justify;">PPh Pasal 26 atas Premi Asuransi/Reasuransi (Pasal 241–243): Prosedur untuk premi asuransi dan reasuransi yang dibayarkan ke perusahaan asuransi di luar negeri.</li><li style="text-align:justify;">Pemungutan PPh atas Penjualan Saham di Bursa Efek (Pasal 244–249): Tata cara pelaksanaan pemungutan PPh atas penghasilan dari penjualan saham di bursa efek.</li><li style="text-align:justify;">Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Hulu Migas (Pasal 250–264): Prosedur untuk penyetoran dan pelaporan kegiatan usaha minyak - gas bumi serta penghitungan PPh untuk pembayaran PPh berupa volume minyak - gas bumi.</li><li style="text-align:justify;">Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali PPN Barang Bawaan (Pasal 265–277): Pengaturan untuk pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali PPN barang bawaan bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri.</li><li style="text-align:justify;">PPN atas Kegiatan Ekspor Kegiatan dan Jasa Tertentu (Pasal 278–285): Batasan kegiatan dan jenis jasa yang dikenakan PPN atas ekspor.</li><li style="text-align:justify;">Pengurang PPN dan PPnBM atas Barang/Jasa Tertentu (Pasal 286–290): Ketentuan terkait PPN dan PPnBM atas barang kena pajak yang dikembalikan serta PPN atas jasa kena pajak yang dibatalkan.</li><li style="text-align:justify;">Pemungutan PPN dan PPnBM oleh BUMN (Pasal 291–297): Aturan bagi BUMN sebagai pemungut dalam memungut, menyetor, dan melaporkan PPN serta PPnBM.</li><li style="text-align:justify;">Penunjukan Kontraktor untuk PPN Migas (Pasal 298–304): Penunjukan kontraktor dan tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM.&nbsp;</li><li style="text-align:justify;">Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pertambangan (Pasal 305–311): Penunjukan pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi serta tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN dan PPnBM.</li><li style="text-align:justify;">PPN atas Jasa Agen dan Pialang Asuransi (Pasal 312–322): Pengaturan PPN untuk jasa agen asuransi, pialang asuransi, dan pialang reasuransi.</li><li style="text-align:justify;">PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (Pasal 323–331): Ketentuan pengenaan PPN untuk konstruksi mandiri.</li><li style="text-align:justify;">PPN atas Barang/Jasa Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean (Pasal 332–339): Penunjukan pihak lain dalam pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN atas barang/jasa dari luar ke dalam daerah pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).</li><li style="text-align:justify;">PPN dan PPh atas Transaksi Aset Kripto (Pasal 340–369): Pengaturan PPN dan PPh atas transaksi kripto.</li><li style="text-align:justify;">Pengecualian PPh atas Dividen atau Penghasilan Lain (Pasal 370–374): Tata cara pengecualian.</li><li style="text-align:justify;">Pengkreditan Pajak Masukan (Pasal 375–381): Prosedur pengkreditan pajak masukan.</li><li style="text-align:justify;">Pembuatan dan Pembetulan Faktur Pajak (Pasal 382–390): Aturan untuk faktur pajak meliputi pembuatan, pembetulan, dan penggantian.</li></ul>&nbsp;<h3 style="text-align:justify;"> Baca Juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/71eaeca6-5f39-4091-9d44-4579f05effd3/Panduan-Lengkap-Pendaftaran-Wajib-Pajak-Badan-melalui-Aplikasi-Coretax-(CTAS)">Panduan Lengkap Pendaftaran Wajib Pajak Badan melalui Aplikasi Coretax (CTAS)</a></h3>&nbsp;&nbsp;7. Pemberian Layanan Administrasi Perpajakan<ul style="list-style-type:disc;"><li style="text-align:justify;">Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta (Pasal 392–406): Prosedur untuk pengalihan dan perolehan harta dalam penggabungan hingga pengambilalihan usaha.</li><li style="text-align:justify;">Fasilitas Pajak untuk Penanaman Modal (Pasal 407–422): Insentif pajak untuk investasi di bidang usaha atau daerah tertentu.</li><li style="text-align:justify;">Pengurang Penghasilan Neto untuk Industri Padat Karya (Pasal 423–431): Ketentuan insentif pengurang penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha bagi usaha padat karya.</li><li style="text-align:justify;">Pengurang Penghasilan Bruto untuk Penelitian/Pengembangan (Pasal 432–441): Insentif pajak untuk penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia.</li><li style="text-align:justify;">Pajak Penghasilan untuk WNA dengan Keahlian Tertentu (Pasal 442–447): Pengaturan PPh bagi WNA dengan kriteria tertentu.</li><li style="text-align:justify;">Pencatatan dan Pembukuan untuk Perpajakan (Pasal 448–463): Prosedur pencatatan dan pembukuan untuk tujuan perpajakan.</li></ul>&nbsp;8. Teknis Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) (Pasal 464-467): Daftar tata cara dan ketentuan perpajakan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Perbendaharaan, serta Direktur Jenderal Bea dan Cukai.&nbsp;9. Contoh Format Dokumen, Perhitungan, Pemungutan, dan Pelaporan (Pasal 468-471):&nbsp;Daftar contoh format dokumen, perhitungan, pemungutan, dan pelaporan yang tercantum dalam Lampiran PMK 81/2024&nbsp;&nbsp;10. Ketentuan Peralihan (Pasal 472-478): Mengatur ketentuan lainnya yang berkaitan dengan seluruh isi di PMK ini.&nbsp;11. Ketentuan Penutup (Pasal 479-484): Berisi aturan yang tetap berlaku dan pencabutan 42 aturan lain secara utuh maupun sebagian pasal.&nbsp;&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81/2024 yang mengatur tentang ketentuan pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau yang biasa dikenal dengan Core Tax Administration System (CTAS). 

Rangkuman Isi PMK 81/2024 tentang Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan Coretax (CTAS)

<h2 style="text-align:justify;">Optimalisasi Penerimaan Pajak di Sektor Pertambangan</h2>&nbsp;Dalam rangka memperkuat regulasi perpajakan di sektor strategis, khususnya pertambangan, pemerintah Indonesia melalui <a href="https://www.pajakku.com/tax-guide/fa0692b1-5c00-414e-ab1d-af7bc87a4bee/PER_MENKEU/81-TAHUN-2024">Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024</a> menetapkan aturan baru terkait penunjukan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk operasi produksi sebagai pemungut, penyetor, dan pelapor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, serta optimalisasi penerimaan pajak dari sektor pertambangan yang selama ini menjadi salah satu pilar utama perekonomian Indonesia.&nbsp;Pemerintah menyadari bahwa sektor pertambangan memiliki kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, kompleksitas operasional di sektor ini sering kali menjadi tantangan dalam hal kepatuhan pajak. Oleh karena itu, regulasi ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik, terutama dalam hal pemungutan dan pelaporan PPN serta PPnBM.<h3 style="text-align:justify;">&nbsp;</h3><h3 style="text-align:justify;"> Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/c4a2e25f-d726-413f-a784-54a0cfe5b190/Ada-Pengecualian-PPh-Natura-di-Sektor-Pertambangan-Apa-Saja">Ada Pengecualian PPh Natura di Sektor Pertambangan, Apa Saja?</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai Pemungut Pajak</h2>&nbsp;Berdasarkan Pasal 305 dalam PMK Nomor 81/2024, pemegang IUPK ditunjuk sebagai pemungut pajak untuk transaksi yang melibatkan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Penunjukan ini berlaku bagi entitas yang:&nbsp;<ol><li style="text-align:justify;">Merupakan perubahan bentuk usaha dari kontrak karya yang belum berakhir.</li><li style="text-align:justify;">Beroperasi di bidang usaha pertambangan mineral.</li><li style="text-align:justify;">Memiliki izin yang diterbitkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelum 31 Desember 2019.</li></ol>&nbsp;Penunjukan ini mencakup seluruh unit usaha, baik kantor pusat maupun cabang, yang terlibat dalam kegiatan operasional pertambangan. Dengan adanya penunjukan ini, pemegang IUPK tidak hanya berperan dalam kegiatan eksplorasi dan produksi, tetapi juga memiliki tanggung jawab dalam pemungutan pajak atas barang dan jasa yang mereka peroleh dari rekanan.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tanggung Jawab Pemungutan dan Penyetoran Pajak</h2>&nbsp;Pasal 306 mengatur bahwa pemegang IUPK wajib memungut PPN dan/atau PPnBM atas setiap penyerahan BKP dan JKP yang diterima dari rekanan. Rekanan yang dimaksud di sini adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang telah terdaftar dan melakukan transaksi dengan pemegang IUPK.&nbsp;Berikut beberapa tanggung jawab utama pemegang IUPK terkait pemungutan pajak:&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">1. Penghitungan Pajak yang Terutang</h3> Jumlah PPN yang harus dipungut oleh pemegang IUPK harus dihitung sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, jika barang yang diserahkan termasuk dalam kategori barang mewah, maka PPnBM juga harus dipungut sesuai aturan yang berlaku.&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">2. Pembebasan Pemungutan Pajak pada Kondisi Tertentu</h3> Berdasarkan Pasal 308, terdapat pengecualian pemungutan pajak oleh pemegang IUPK untuk transaksi tertentu, antara lain:<ul><li style="text-align:justify;">Jika total nilai pembayaran tidak melebihi Rp10 juta, termasuk pajak yang terutang, dengan catatan tidak ada pemecahan transaksi untuk menghindari batas nilai.</li><li style="text-align:justify;">Penyerahan barang atau jasa yang mendapat fasilitas pembebasan PPN, seperti bahan bakar yang disediakan oleh PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya.</li><li style="text-align:justify;">Jasa telekomunikasi dan angkutan udara yang tidak dikenai PPN menurut peraturan yang berlaku.</li></ul>&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">3. Pembuatan Faktur Pajak oleh Rekanan</h3> Berdasarkan Pasal 309, setiap rekanan yang menyerahkan BKP atau JKP kepada pemegang IUPK wajib membuat faktur pajak. Faktur ini harus diterbitkan pada saat:&nbsp;<ul><li style="text-align:justify;">Penyerahan barang atau jasa.</li><li style="text-align:justify;">Penerimaan pembayaran sebelum penyerahan.</li><li style="text-align:justify;">Pembayaran termin pada setiap tahap pekerjaan.</li></ul>&nbsp;Faktur pajak ini wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa (SPT) PPN oleh rekanan sesuai periode yang ditentukan.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Prosedur Penyetoran dan Pelaporan Pajak oleh Pemegang IUPK</h2>&nbsp;Pemegang IUPK yang telah memungut pajak berkewajiban untuk menyetorkan jumlah pajak yang terutang ke kas negara melalui Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 310. Penyetoran ini harus dilakukan secara terstruktur untuk menghindari kesalahan yang dapat berakibat pada sanksi administratif.&nbsp;Selain itu, pemegang IUPK juga harus melaporkan seluruh pajak yang telah dipungut dan disetor melalui SPT Masa PPN sebelum akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Pelaporan yang tepat waktu dan sesuai prosedur akan membantu pemegang IUPK menghindari potensi denda atau sanksi yang dapat dikenakan jika terjadi keterlambatan.<h3 style="text-align:justify;">&nbsp;</h3><h3 style="text-align:justify;"> Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/f30b4ec9-8e88-4d90-9f82-970a1b869659/Sah!-22-Komoditas-Hasil-Pertambangan-Ini-Masuk-Daftar-Mineral-Strategis-Indonesia">Sah! 22 Komoditas Hasil Pertambangan Ini Masuk Daftar Mineral Strategis Indonesia</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Sanksi Bagi Pemegang IUPK yang Tidak Memenuhi Kewajiban</h2>&nbsp;Dalam Pasal 311, pemerintah menetapkan sanksi bagi pemegang IUPK yang tidak mematuhi kewajiban pemungutan, penyetoran, atau pelaporan pajak. Beberapa pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi antara lain:&nbsp;<ul><li style="text-align:justify;">Tidak melakukan pemungutan pajak sesuai ketentuan.</li><li style="text-align:justify;">Keterlambatan dalam penyetoran pajak yang sudah dipungut.</li><li style="text-align:justify;">Tidak melaporkan pajak terutang dalam periode yang ditentukan.</li></ul>&nbsp;Sanksi yang dikenakan bisa berupa denda, bunga, atau bahkan pembekuan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) jika pelanggaran dianggap serius. Dengan demikian, pemegang IUPK perlu memastikan kepatuhan mereka terhadap peraturan yang berlaku untuk menghindari potensi penalti.&nbsp;Peraturan baru yang tertuang dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024 memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemegang IUPK dalam hal pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pertambangan, serta mendorong kepatuhan pajak yang lebih tinggi di industri yang sangat berperan dalam perekonomian nasional.&nbsp;Dengan memahami dan mematuhi ketentuan yang diatur dalam PMK ini, pemegang IUPK dapat memastikan bahwa operasional bisnis mereka tetap berjalan lancar tanpa menghadapi masalah terkait perpajakan. Oleh karena itu, penting bagi para pelaku usaha di sektor ini untuk memperbarui pemahaman mereka tentang regulasi pajak yang berlaku.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di&nbsp;<a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Dalam rangka memperkuat regulasi perpajakan di sektor strategis, khususnya pertambangan, pemerintah Indonesia melalui PMK No. 81/2024 menetapkan aturan baru terkait penunjukan pemegang IUPK untuk operasi produksi sebagai pemungut, penyetor, dan pelapor PPN serta PPnBM.

Aturan Pajak Baru untuk Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus

<h2 style="text-align:justify;">Aturan Pajak Baru di Sektor Energi</h2>&nbsp;Pemerintah Indonesia terus berupaya memperkuat regulasi perpajakan di sektor energi guna meningkatkan transparansi, kepatuhan, serta optimalisasi penerimaan negara. Melalui <a href="https://www.pajakku.com/tax-guide/fa0692b1-5c00-414e-ab1d-af7bc87a4bee/PER_MENKEU/81-TAHUN-2024">Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024</a>, pemerintah menetapkan ketentuan baru yang mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) di sektor minyak, gas bumi, serta kontraktor dan pemegang izin usaha panas bumi untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, mengingat sektor energi memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara.&nbsp;Industri minyak, gas, dan panas bumi selama ini menjadi salah satu sektor andalan dalam perekonomian Indonesia. Namun, kompleksitas bisnis dan tingginya volume transaksi di sektor ini menuntut adanya mekanisme yang jelas dalam hal pemungutan pajak. Oleh karena itu, PMK 81/2024 berupaya memastikan bahwa kontraktor yang beroperasi di bidang ini menjalankan kewajiban pajaknya dengan lebih tertib dan terstruktur.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/6841cab6-9777-471d-8908-445dfb8159f5/Insentif-Pajak-dan-Regulasi-untuk-Kontraktor-Migas:-Apa-yang-Perlu-Diketahui">Insentif Pajak dan Regulasi untuk Kontraktor Migas, Apa yang Perlu Diketahui?</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Penunjukan Kontraktor sebagai Pemungut Pajak</h2>&nbsp;Regulasi yang tertuang dalam Pasal 298 menetapkan bahwa kontraktor di sektor minyak, gas bumi, dan panas bumi wajib bertindak sebagai pemungut PPN dan PPnBM. Hal ini berlaku baik untuk kantor pusat, cabang, maupun unit usaha terkait. Dengan demikian, kontraktor tidak hanya bertindak sebagai penerima barang atau jasa dari rekanan, tetapi juga bertanggung jawab untuk memungut pajak yang terutang dari transaksi tersebut.&nbsp;Ketentuan ini bertujuan agar pajak yang terutang atas penyerahan barang dan jasa tidak hanya dibebankan pada rekanan, melainkan dikumpulkan oleh kontraktor yang menerima barang atau jasa tersebut. Langkah ini diyakini akan meningkatkan akurasi dan kecepatan penerimaan pajak di sektor energi.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tata Cara Pemungutan Pajak oleh Kontraktor</h2>&nbsp;Menurut Pasal 299, kontraktor yang ditunjuk wajib memungut PPN dan/atau PPnBM atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang diberikan oleh rekanan mereka. Rekanan yang dimaksud adalah para Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar dan melakukan penyerahan barang atau jasa kepada kontraktor tersebut.&nbsp;Beberapa poin penting yang perlu diperhatikan oleh kontraktor dalam pemungutan pajak ini antara lain:&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">1. Penghitungan Pajak</h3> Jumlah PPN yang dipungut dihitung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika barang yang diserahkan termasuk dalam kategori barang mewah, maka PPnBM juga harus dipungut sesuai ketentuan yang berlaku.&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">2. Pengecualian Pemungutan</h3> Berdasarkan Pasal 301, terdapat beberapa kondisi di mana kontraktor tidak wajib memungut PPN dan PPnBM, yaitu:<ul><li style="text-align:justify;">Jika nilai transaksi tidak melebihi Rp10 juta, termasuk pajak yang terutang.</li><li style="text-align:justify;">Jika transaksi mendapat fasilitas pembebasan pajak, seperti pada penyerahan bahan bakar minyak oleh PT Pertamina dan anak usahanya, atau jasa telekomunikasi dan angkutan udara.</li><li style="text-align:justify;">Jika penyerahan barang atau jasa tersebut sudah dikecualikan dari pengenaan PPN menurut peraturan yang berlaku.</li></ul>&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">3. Dokumentasi Faktur Pajak</h3> Sesuai Pasal 302, rekanan yang menyerahkan barang atau jasa kepada kontraktor wajib membuat faktur pajak pada saat penyerahan atau pada saat menerima pembayaran. Faktur ini harus dilaporkan secara berkala dalam Surat Pemberitahuan Masa (SPT) PPN.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Prosedur Penyetoran dan Pelaporan Pajak</h2>&nbsp;Setelah memungut pajak, kontraktor diwajibkan untuk menyetorkan jumlah pajak yang dipungut ke kas negara. Penyetoran ini harus dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Proses penyetoran dilakukan melalui Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP.&nbsp;Menurut Pasal 303, pelaporan PPN yang telah dipungut dan disetor harus dilakukan secara berkala menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPN. Pelaporan ini harus dilaksanakan sebelum akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, dengan menggunakan sistem yang terintegrasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Sanksi bagi Kontraktor dan Rekanan yang Tidak Mematuhi Aturan</h2>&nbsp;Pemerintah menegaskan bahwa kontraktor dan rekanan yang tidak memenuhi kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak akan dikenakan sanksi administratif. Hal ini diatur dalam Pasal 304. Sanksi tersebut dapat berupa denda, bunga, atau bahkan pembekuan nomor pokok wajib pajak (NPWP) jika pelanggaran yang dilakukan tergolong serius.<h2>&nbsp;</h2>&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/6c0410c3-90fe-4bce-abba-8e10871019f2/PPh-Nonmigas-Dominasi-Penerimaan-Pajak-Februari-2024-Apa-Saja-Faktornya-">PPh Nonmigas Dominasi Penerimaan Pajak Februari 2024, Apa Saja Faktornya?</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tips bagi Kontraktor di Sektor Minyak, Gas, dan Panas Bumi</h2>&nbsp;Agar proses pemungutan dan pelaporan pajak berjalan lancar, berikut beberapa tips yang dapat diimplementasikan:<ol><li style="text-align:justify;">Gunakan Sistem Terintegrasi untuk Mempermudah Pelaporan Memanfaatkan Tarra e-Faktur Pajakku sebagai platform pengelolaan faktur pajak dapat membantu kontraktor dalam memproses faktur dengan lebih cepat. Fitur seperti real-time koneksi ke server DJP, bulk processing, serta dashboard monitoring mempermudah pelaporan dan memastikan akurasi data.</li><li style="text-align:justify;">Otomatisasi Proses Pembuatan Faktur Dengan fitur prepopulated faktur, kontraktor dapat mempercepat proses pengisian dan pengiriman faktur pajak. Ini membantu meminimalkan risiko kesalahan dan keterlambatan pelaporan.</li><li style="text-align:justify;">Lakukan Audit Internal Secara Berkala Melakukan audit internal atas proses pemungutan dan pelaporan pajak dapat membantu mendeteksi kesalahan lebih awal. Pastikan semua transaksi dicatat dengan benar untuk menghindari sanksi yang tidak perlu.</li></ol>&nbsp;Tarra e-Faktur Pajakku adalah solusi tepat untuk perusahaan yang ingin efisien dalam mengelola pajak. Untuk informasi tentang produk dan manfaat lebih lanjut, segera hubungi nomor kontak 0804-1-501-501, atau email ke <a href="mailto:marketing@pajakku.com">marketing@pajakku.com</a>.&nbsp;Dengan diberlakukannya PMK Nomor 81 Tahun 2024, kontraktor di sektor energi kini memiliki tanggung jawab lebih besar dalam hal pemungutan dan pelaporan pajak. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga mendorong kepatuhan dan transparansi di industri yang strategis ini. Bagi pelaku usaha, memahami dan mematuhi aturan ini sangat penting untuk memastikan bisnis berjalan lancar tanpa terganggu oleh masalah perpajakan.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di&nbsp;<a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Melalui PMK Nomor 81 Tahun 2024, pemerintah menetapkan ketentuan baru yang mewajibkan kontraktor KKS di sektor minyak, gas bumi, serta kontraktor dan pemegang izin usaha panas bumi untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM. 

Panduan Pemungutan Pajak untuk Kontraktor Minyak, Gas, dan Panas Bumi Berdasarkan PMK 81/2024

Jakarta

Bandung

Bali

Syarat & Ketentuan

Perjanjian Lisensi

Kebijakan Privasi

Kontak Pajakku

Tax Prep

Fraud & Deception

Digital Assemblage

Analytics, Planning, & Monitoring

Human Enabler

Integrated Platform for Tax Liability Recommendations and Management

Pajakku bersertifikasi internasional ISO/IEC 27001:2022 untuk Manajemen Keamanan Informasi, ISO 9001:2015 untuk Sistem Manajemen Mutu, dan ISO/IEC 20000-1:2018 untuk Sistem Manajemen Layanan Teknologi Informasi, dari British Standards Institution, dalam menjaga keamanan dan kerahasiaan data informasi seluruh member Pajakku.

Aman, Rahasia dan Terpercaya

Pemeliharaan dan pembaharuan layanan secara otomatis, serta ketersediaan layanan yang selalu hadir untuk membantu member setia Pajakku, dengan bantuan responsif dari Support Pajakku.

Mudah dan Nyaman

Pajakku patuh kepada semua peraturan dan arahan dari Direktorat Jendral Pajak maupun Direktorat Jenderal Perbendaharaan, serta rutin melakukan proses pengawasan oleh multi lembaga Pemerintah dan Swasta. Pajakku juga terus beradaptasi terhadap peraturan terbaru yang berlaku.

Terdaftar dan Diawasi oleh DJP & DJPb

Gunakan fitur tambahan keamanan yang melindungi database perusahaan Anda, dari dalam dan luar. Dengan layanan kontrol security platform dan security expert, Fitur Protect Plus menjadi solusi pencegahan kehilangan data perusahaan. Hindari berbagai ancaman kejahatan siber melalui intelijen yang telah dipatenkan. Bersama Pajakku, kami memprioritaskan keamanan Anda.

Protect Plus 

Sistem Integrasi Perpajakan

Quick and accurate validation and confirmation of taxpayer status

e-Konfirmasi Status Wajib Pajak

Comprehensive Tax Monitoring and Analysis for More Informed Business Decisions

Business Intelligence Pajak

Manage and Distribute Tax Documents Faster and More Efficiently

Tador

Tarra e-Faktur

Manage All Income Tax Articles Securely, Easily, and Accurately

e-Pengolahan Pajak Terpadu

Accelerate the application of electronic stamps and digital signatures effortlessly

e-Met Pajakku

Boost Your Tax Expertise with Our Competence Test

Taxation Competency Test

<h2 style="text-align:justify;">Memahami Laba Normal dan Abnormal</h2>&nbsp;Dalam dunia bisnis, laba normal menjadi tolak ukur keberlanjutan operasi perusahaan. Laba ini mencakup biaya eksplisit, seperti transaksi yang tercatat di neraca, serta biaya implisit, yaitu kesempatan pendapatan yang hilang. Secara sederhana, laba normal adalah batas minimum yang harus dicapai perusahaan untuk tetap bertahan. Perusahaan berada pada titik laba normal ketika pendapatan rata-rata setara dengan biaya total rata-rata.&nbsp;Sebaliknya, laba abnormal—atau yang sering disebut laba supernormal—merupakan keuntungan yang jauh melampaui tingkat laba normal. Perusahaan dapat meraih laba abnormal melalui berbagai cara, seperti monopoli pasar, investasi besar dengan risiko tinggi, atau keberhasilan mengembangkan kekayaan intelektual. Namun, laba jenis ini sering kali menimbulkan perdebatan terkait bagaimana pajak memengaruhi keberlanjutan keuntungan tersebut.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Pajak pada Laba Abnormal</h2>&nbsp;Para ekonom umumnya percaya bahwa laba abnormal tidak terlalu sensitif terhadap pajak. Keyakinan ini didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan dengan keuntungan besar tetap akan menikmati laba bersih tertinggi setelah pajak, meskipun tarif pajak meningkat. Dalam konteks ini, pajak dianggap tidak memengaruhi keputusan perusahaan terkait penggajian, investasi, atau ekspansi bisnis. Oleh karena itu, beberapa negara menerapkan pajak windfall, atau pajak atas keuntungan yang dinilai sebagai "durian runtuh".&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/d7f5ee79-1db3-4026-8b6b-3541f3f96583/Bagaimana-CSR-Dapat-Membantu-Mengurangi-Pajak-Perusahaan">Bagaimana CSR Dapat Membantu Mengurangi Pajak Perusahaan?</a></h3>&nbsp;&nbsp;Namun, pandangan ini sering dikritik. Beberapa ahli berpendapat bahwa tidak semua laba abnormal bersifat insensitif terhadap pajak. Perusahaan yang memperoleh laba besar melalui inovasi atau investasi berisiko tinggi akan merespons secara berbeda dibandingkan perusahaan monopolistik. Menyamakan semua perusahaan berlaba abnormal dengan monopoli dianggap sebagai kesalahan logika. Berikut ini adalah penjelasan mendalam mengenai sensitivitas laba abnormal terhadap pajak berdasarkan asal-usul keuntungannya.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Investasi Besar dan Sensitivitas terhadap Pajak</h2>&nbsp;Laba abnormal sering kali menjadi hasil dari keberanian perusahaan mengambil risiko besar dalam investasi. Tingkat keuntungan tinggi ini biasanya datang dengan biaya yang sebanding, termasuk biaya kegagalan potensial dan skenario risiko lain. Ketika tarif pajak dinaikkan, ekspektasi laba bersih sebelum investasi dilakukan akan menurun, yang dapat mengubah perhitungan keuntungan perusahaan.&nbsp;Misalnya, perusahaan yang berencana berinvestasi dalam proyek besar akan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti biaya modal dan kemungkinan keuntungan. Jika pajak terlalu tinggi, perusahaan mungkin memilih untuk membatalkan investasi tersebut karena laba yang diharapkan menjadi terlalu rendah. Akibatnya, insentif untuk berinvestasi menurun, yang pada gilirannya memengaruhi pertumbuhan perusahaan, penggajian karyawan, dan pembentukan modal.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Kekayaan Intelektual dan Dampaknya pada Inovasi</h2>&nbsp;Perusahaan yang menghasilkan laba abnormal dari kekayaan intelektual juga tidak sepenuhnya kebal terhadap pajak. Ambil contoh perusahaan farmasi yang memegang hak paten atas obat inovatif. Hak paten memberikan keistimewaan bagi perusahaan untuk menikmati laba tinggi selama periode tertentu. Namun, laba ini sering kali diimbangi oleh biaya riset dan pengembangan yang besar.&nbsp;Ketika tarif pajak meningkat, perusahaan mungkin mempertimbangkan ulang investasi dalam riset dan pengembangan di masa depan. Tanpa insentif yang memadai, penciptaan produk inovatif dapat terhambat, yang berpotensi mengurangi kontribusi jangka panjang perusahaan terhadap pasar dan masyarakat. Dalam kasus ini, pajak yang tinggi tidak hanya memengaruhi keuntungan perusahaan, tetapi juga ekosistem inovasi secara keseluruhan.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Monopoli dan Keistimewaannya terhadap Pajak</h2>&nbsp;Berbeda dengan perusahaan inovatif atau investor berisiko tinggi, perusahaan monopolistik lebih mampu mempertahankan laba abnormal meskipun dikenai pajak tinggi. Dengan kekuatan untuk menentukan harga dan kuantitas produksi, perusahaan ini dapat memindahkan beban pajak kepada konsumen tanpa mengurangi keuntungannya secara signifikan. Namun, perusahaan monopolistik hanya mencakup sebagian kecil dari entitas bisnis yang menghasilkan laba abnormal.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Implikasi Pajak terhadap Keputusan Bisnis</h2>&nbsp;Kenaikan pajak pada laba abnormal dapat memengaruhi sejumlah aspek dalam operasi perusahaan:&nbsp;<ol><li style="text-align:justify;">Pengurangan Investasi: Perusahaan mungkin menunda atau membatalkan investasi baru karena ekspektasi pengembalian yang lebih rendah.</li><li style="text-align:justify;">Penurunan Penggajian: Laba bersih yang menurun dapat memengaruhi kemampuan perusahaan untuk memberikan kenaikan gaji atau bonus kepada karyawan.</li><li style="text-align:justify;">Perubahan Strategi Bisnis: Perusahaan mungkin mengurangi aktivitas inovatif atau mencari lokasi dengan kebijakan pajak lebih ringan.</li></ol>&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/52c7e93e-013b-4010-8d5e-d3e530488b1c/Kupas-Tuntas-PPh-atas-Penjualan-Saham-Perusahaan-Modal-Ventura">Kupas Tuntas PPh atas Penjualan Saham Perusahaan Modal Ventura</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tidak Semua Laba Abnormal Sama</h2>&nbsp;Pandangan bahwa perusahaan berlaba abnormal kebal terhadap pajak perlu ditinjau kembali. Meskipun perusahaan monopolistik mungkin mampu bertahan dengan tarif pajak tinggi, perusahaan non-monopolistik yang bergantung pada inovasi dan investasi berisiko besar menunjukkan sensitivitas yang berbeda terhadap pajak. Pajak yang terlalu tinggi dapat mengurangi insentif untuk berinovasi, berinvestasi, dan mempertahankan laba, yang pada akhirnya memengaruhi kinerja perusahaan, pekerja, dan pasar secara keseluruhan.&nbsp;Kebijakan perpajakan yang dirancang dengan mempertimbangkan perbedaan asal-usul laba abnormal dapat membantu menciptakan sistem yang lebih adil dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dengan memahami kompleksitas ini, pembuat kebijakan dapat merancang tarif pajak yang tidak hanya meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga mendorong inovasi dan investasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas.&nbsp;&nbsp;Source: <a href="https://www.pajak.go.id/id/artikel/insensitivitas-badan-berlaba-abnormal-terhadap-pajak">Pajak.go.id</a>&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca Berita dan Artikel Pajakku Lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Para ekonom umumnya percaya bahwa laba abnormal tidak terlalu sensitif terhadap pajak. Keyakinan ini didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan dengan keuntungan besar tetap akan menikmati laba bersih tertinggi setelah pajak, meskipun tarif pajak meningkat. 

Apakah Perusahaan Berlaba Abnormal Benar-Benar Kebal Pajak?

Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memastikan bahwa ambang batas omzet untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mendapatkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final dan status Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap berada di angka Rp 4,8 miliar per tahun. Pernyataan ini sekaligus membantah isu yang menyebutkan rencana penurunan ambang batas tersebut menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.&nbsp;Airlangga menjelaskan bahwa pemerintah belum memiliki rencana untuk menurunkan ambang batas yang telah berlaku saat ini. Menurutnya, meskipun evaluasi terhadap kebijakan perpajakan selalu dilakukan secara rutin, tidak ada pembahasan konkret mengenai penurunan threshold tersebut.&nbsp;Ia menambahkan bahwa kebijakan terkait ambang batas omzet UMKM masih berfokus pada angka Rp 4,8 miliar. Langkah ini dilakukan untuk memberikan kepastian kepada pelaku UMKM di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Rekomendasi OECD dan Penyesuaian Threshold</h2>&nbsp;Sebelumnya, isu penurunan threshold ini mencuat setelah adanya rekomendasi dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Dalam survei ekonomi yang dirilis pada November 2024, OECD menilai bahwa batas omzet UMKM bebas pajak di Indonesia terlalu tinggi jika dibandingkan dengan praktik terbaik di negara lain. Menurut OECD, batasan omzet sebesar Rp 4,8 miliar atau setara dengan 300 ribu dolar AS dianggap kurang mencerminkan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/b840a194-9ef9-48b0-8e10-8e1ccc8ad8f2/Presiden-Berikan-Aturan-Hapus-Utang-untuk-UMKM-Cek-Syaratnya-di-Sini!">Presiden Berikan Aturan Hapus Utang untuk UMKM, Cek Syaratnya di Sini!</a></h3>&nbsp;&nbsp;Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyampaikan bahwa rekomendasi OECD ini menjadi salah satu bahan kajian pemerintah. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan ini baru berada pada tahap evaluasi internal dan belum ada keputusan resmi terkait perubahan threshold tersebut.&nbsp;Susiwijono juga mengungkapkan bahwa pemerintah tetap mengutamakan insentif bagi UMKM, terutama dalam menghadapi tantangan pemberlakuan tarif PPN sebesar 12% mulai Januari 2025. Menurutnya, fokus kebijakan saat ini adalah meringankan beban UMKM melalui perpanjangan fasilitas PPh Final 0,5% hingga 2025.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Proses dan Implikasi Kebijakan</h2>&nbsp;Jika nantinya pemerintah memutuskan untuk menurunkan ambang batas omzet UMKM yang dikenai PPh Final, perubahan ini akan dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP). Perubahan tersebut juga akan mencakup penyesuaian aturan terkait insentif PPh Final 0,5% bagi UMKM. Namun, Susiwijono menekankan bahwa proses ini masih dalam tahap kajian dan belum ada arah kebijakan yang pasti.&nbsp;Penyesuaian threshold juga dipandang sebagai upaya untuk memperluas basis pajak sekaligus meningkatkan keadilan dalam sistem perpajakan. Dengan menurunkan ambang batas, lebih banyak pelaku usaha yang akan masuk dalam kategori wajib pajak, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara.&nbsp;Namun, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan tantangan bagi pelaku UMKM. Penurunan threshold dapat meningkatkan beban administratif bagi usaha kecil yang baru berkembang. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak kebijakan ini secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/63dda8a8-09d6-4009-8c3b-0200662f0ce5/Perlukah-Insentif-Pajak-UMKM-05-Persen-Diperpanjang">Perlukah Insentif Pajak UMKM 0,5% Diperpanjang?</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Komitmen pada Stabilitas Ekonomi UMKM</h2>&nbsp;Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung pertumbuhan UMKM sebagai salah satu pilar utama perekonomian nasional. Dengan mempertahankan ambang batas omzet sebesar Rp 4,8 miliar, pemerintah memberikan ruang bagi UMKM untuk berkembang tanpa harus terbebani oleh pajak yang tinggi.&nbsp;Langkah ini juga sejalan dengan kebijakan strategis lainnya, seperti perpanjangan fasilitas PPh Final 0,5% yang memberikan keuntungan besar bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Kebijakan ini bertujuan meringankan beban pajak sekaligus mendorong lebih banyak UMKM untuk masuk ke dalam sistem perpajakan formal.&nbsp;Berdasarkan pernyataan resmi pemerintah, ambang batas omzet UMKM bebas pajak tetap berada di angka Rp 4,8 miliar per tahun. Meskipun terdapat rekomendasi dari OECD untuk menyesuaikan threshold ini, kebijakan tersebut masih berada pada tahap evaluasi dan belum menghasilkan keputusan konkret.&nbsp;Dengan mempertahankan threshold yang ada, pemerintah berupaya menjaga stabilitas ekonomi UMKM dan memberikan kepastian kepada pelaku usaha. Di sisi lain, pemerintah juga terus melakukan kajian untuk memastikan kebijakan perpajakan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Pemerintah memastikan bahwa ambang batas omzet untuk (UMKM) yang mendapatkan tarif PPh final dan status PKP tetap berada di angka Rp 4,8 miliar per tahun. Bagaimana detailnya? Simak informasinya berikut!

Airlangga Tegaskan Tidak Ada Rencana Menurunkan Ambang Batas Omzet UMKM Bebas Pajak

Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai Januari 2025. Kebijakan ini menjadi sorotan publik karena dampaknya tidak hanya pada sektor bisnis tradisional tetapi juga pada transaksi digital atau cashless yang semakin populer. Dengan meningkatnya penggunaan pembayaran non-tunai, masyarakat dan pelaku usaha perlu memahami bagaimana kebijakan ini akan memengaruhi mereka.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Dampak Langsung pada Transaksi Cashless</h2>&nbsp;Peningkatan tarif PPN ini akan memengaruhi biaya layanan yang timbul dari transaksi digital. Berdasarkan <a href="https://www.pajakku.com/tax-guide/12486/PER_MENKEU/69-PMK03-2022">Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022</a>, jasa yang menggunakan teknologi finansial, termasuk transaksi cashless, termasuk dalam kategori Jasa Kena Pajak (JKP). Artinya, PPN diberlakukan pada biaya layanan yang terkait dengan transaksi tersebut.&nbsp;Sebagai contoh, jika pengguna dompet digital melakukan transaksi sebesar Rp200.000 dengan biaya layanan sebesar Rp5.000, maka saat ini PPN 11% dikenakan pada biaya layanan tersebut, yaitu Rp550. Dengan kenaikan menjadi 12%, nilai pajak akan meningkat menjadi Rp600. Meskipun peningkatan ini terlihat kecil dalam satu transaksi, efek kumulatifnya bisa cukup signifikan untuk transaksi yang dilakukan secara rutin.&nbsp;Namun, aturan ini mengecualikan saldo dompet digital yang tidak digunakan untuk transaksi, serta program seperti reward point, top-up point, dan loyalty point. Dengan demikian, pajak hanya berlaku pada biaya layanan yang dikenakan untuk aktivitas transaksi aktif.<h2 style="text-align:justify;">&nbsp;</h2>&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/0cdeeba3-e4da-43b8-9c76-e90fb2d3f246/Inflasi-Tetap-Stabil-Meski-PPN-Naik-Ini-Penjelasan-Bank-Indonesia">Inflasi Tetap Stabil Meski PPN Naik? Ini Penjelasan Bank Indonesia</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Reaksi Publik terhadap Kenaikan Tarif</h2>&nbsp;Warganet ramai membahas kebijakan ini di media sosial, menyoroti potensi beban tambahan bagi konsumen. Beberapa komentar menyebutkan bahwa biaya layanan yang dikenai pajak seharusnya menjadi tanggung jawab penyedia jasa atau merchant, bukan konsumen.&nbsp;Ada juga yang mempertanyakan keadilan kebijakan ini, mengingat transaksi digital menjadi pilihan utama banyak orang untuk kemudahan dan efisiensi. Banyak yang merasa bahwa kenaikan pajak ini dapat mengurangi daya tarik transaksi cashless dan justru menambah beban ekonomi masyarakat.&nbsp;Kritik lain menyebutkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak negatif pada adopsi teknologi finansial di Indonesia. Dengan biaya tambahan yang dikenakan pada setiap transaksi, beberapa konsumen mungkin memilih untuk kembali ke metode pembayaran konvensional.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Alasan Strategis di Balik Kenaikan PPN</h2>&nbsp;Kenaikan tarif PPN merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara. Dengan memasukkan sektor ekonomi digital yang berkembang pesat, pemerintah berharap dapat menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan, di mana semua sektor ekonomi berkontribusi secara proporsional.&nbsp;Selain itu, tarif PPN sebesar 12% dirancang untuk mendekati standar internasional, sehingga Indonesia dapat bersaing dengan negara lain dalam hal kebijakan perpajakan. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan layanan publik yang membutuhkan pembiayaan berkelanjutan.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Dampak pada Konsumen dan Pelaku Usaha</h2>&nbsp;Dampak kenaikan tarif PPN ini akan dirasakan secara langsung oleh konsumen. Biaya tambahan dari pajak dapat meningkatkan pengeluaran harian, terutama bagi mereka yang sering menggunakan pembayaran cashless untuk kebutuhan sehari-hari.&nbsp;Bagi pelaku usaha, kenaikan ini juga menimbulkan tantangan. Penyedia layanan digital, seperti platform e-commerce, aplikasi transportasi daring, dan penyedia dompet digital, mungkin harus menanggung biaya tambahan atau membebankannya kepada konsumen. Pilihan ini akan memengaruhi strategi bisnis masing-masing perusahaan.&nbsp;Di sisi lain, kenaikan tarif ini juga dapat menjadi pendorong inovasi. Penyedia layanan mungkin mencari cara untuk mengurangi biaya operasional atau menawarkan insentif baru untuk mempertahankan loyalitas konsumen. Dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa menjadi katalisator untuk efisiensi dan inovasi dalam industri teknologi finansial.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/796ac3e2-bcc6-45e0-8c93-2cb3909f822e/Catat!-Daftar-Makanan-yang-Akan-Kena-PPN-12-Persen-Mulai-tahun-2025">Catat! Daftar Makanan yang Akan Kena PPN 12% Mulai tahun 2025</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Upaya Pemerintah untuk Menjaga Keseimbangan</h2>&nbsp;Untuk mengurangi dampak negatif kebijakan ini, pemerintah telah menetapkan sejumlah langkah mitigasi. Salah satunya adalah memastikan bahwa tarif PPN hanya dikenakan pada biaya layanan, sehingga transaksi utama tidak terpengaruh secara langsung. Selain itu, pemerintah memperpanjang insentif pajak untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) hingga 2025 guna menjaga daya beli masyarakat.&nbsp;Pemerintah juga berkomitmen untuk terus memantau implementasi kebijakan ini dan mendengarkan masukan dari berbagai pihak. Dengan pendekatan yang fleksibel, diharapkan kebijakan ini dapat diterima oleh masyarakat sekaligus mencapai tujuan fiskal.&nbsp;Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 akan membawa dampak signifikan pada transaksi digital dan sektor ekonomi lainnya. Kebijakan ini bertujuan memperkuat penerimaan negara dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, pelaksanaannya membutuhkan komunikasi yang baik dan kebijakan pendukung untuk melindungi konsumen serta pelaku usaha.&nbsp;Bagi masyarakat, memahami dampak kebijakan ini menjadi langkah penting untuk menyesuaikan kebiasaan transaksi. Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini dilaksanakan dengan cara yang transparan dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Berdasarkan PMK No.69/PMK.03/2022, jasa yang menggunakan teknologi finansial, termasuk transaksi cashless, termasuk dalam kategori Jasa Kena Pajak (JKP). Simak informasi lengkapnya!

Benarkah Transaksi Cashless Kena Pajak PPN? Simak Perhitungannya

<h2 style="text-align:justify;">ADEM sebagai Fondasi Penyusunan APBN</h2>&nbsp;Dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang dilakukan pada jelang akhir tahun 2023 lalu, Asumsi Dasar Ekonomi Makro (ADEM) menjadi kompas utama yang menentukan arah kebijakan ekonomi. ADEM mencakup berbagai indikator ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, hingga lifting minyak dan gas bumi. Indikator ini berfungsi sebagai pedoman dalam menetapkan target pendapatan dan belanja negara.&nbsp;Beberapa asumsi yang telah ditetapkan untuk tahun 2024 meliputi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%, inflasi yang terkendali di angka 2,8%, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp15.000/US$, suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun sebesar 6,7%, harga minyak mentah dunia di kisaran US$82 per barel, lifting minyak sebesar 635 ribu barel per hari, serta lifting gas sebesar 1,033 juta barel setara minyak per hari.&nbsp;Dengan dasar ini, pemerintah memproyeksikan pendapatan negara mencapai Rp2.802,3 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492 triliun. Pajak menjadi pilar utama penerimaan negara, dengan peran strategis untuk mendukung pembangunan sekaligus menjaga keseimbangan fiskal.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Komponen ADEM dan Keterkaitannya dengan Pajak</h2>&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">1. Pertumbuhan Ekonomi: Motor Penggerak Pajak</h3>&nbsp;Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator utama dalam memproyeksikan penerimaan pajak. Dengan target pertumbuhan 5,2%, pemerintah optimis aktivitas ekonomi yang meningkat akan mendorong penerimaan pajak dari individu dan korporasi. Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai alat ukur pertumbuhan ekonomi mencerminkan nilai tambah dari produksi barang dan jasa. Peningkatan PDB menunjukkan aktivitas ekonomi yang sehat, yang diharapkan berdampak positif pada basis pajak.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/659e922a-6d99-4e71-b201-ee97fb31e0e0/Resmi-Disahkan-Ini-Fokus-dan-Target-APBN-2025">Resmi Disahkan, Ini Fokus dan Target APBN 2025</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">2. Inflasi: Pengaruhnya pada Penerimaan Pajak</h3>&nbsp;Inflasi yang diperkirakan berada di angka 2,8% juga menjadi perhatian penting. Dalam beberapa kasus, inflasi dapat meningkatkan penerimaan pajak karena nominal pendapatan dan harga barang yang naik. Namun, inflasi yang terlalu tinggi dapat menggerus daya beli masyarakat. Melalui kebijakan pajak, pemerintah juga memiliki alat untuk mengendalikan inflasi, misalnya dengan pengenaan pajak pada barang tertentu untuk mengurangi konsumsi yang berlebihan.&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">3. Nilai Tukar: Dampaknya pada Pajak dan Beban Negara</h3>&nbsp;Dengan asumsi nilai tukar Rp15.000/US$, pemerintah memperkirakan dampaknya terhadap ekspor-impor dan pembayaran utang luar negeri. Nilai tukar memengaruhi penerimaan PPN dari barang impor serta pajak yang dikenakan pada aktivitas ekspor. Di sisi lain, penguatan dolar AS terhadap rupiah dapat meningkatkan beban pembayaran bunga utang luar negeri, yang perlu diimbangi dengan penerimaan pajak yang optimal.&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">4. Suku Bunga SBN: Penyeimbang Defisit</h3>&nbsp;Suku bunga SBN 10 tahun sebesar 6,7% menjadi salah satu indikator utama dalam pengelolaan pembiayaan negara. SBN digunakan untuk menutup defisit APBN. Peran pajak dalam hal ini adalah menjadi penyeimbang, sehingga kebutuhan pendanaan melalui utang dapat diminimalkan. Dengan penerimaan pajak yang memadai, pemerintah dapat menjaga stabilitas fiskal tanpa menambah beban utang secara signifikan.&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">5. Harga Minyak dan Lifting Migas: Kontribusi terhadap APBN</h3>&nbsp;Penerimaan negara dari sektor migas masih menjadi bagian penting dalam APBN, meskipun kontribusinya telah menurun dibandingkan masa lalu. Dengan asumsi harga minyak dunia sebesar US$82 per barel, lifting minyak sebesar 635 ribu barel per hari, dan lifting gas sebesar 1,033 juta barel setara minyak, pemerintah mengandalkan sektor ini sebagai salah satu sumber penerimaan. Pajak melengkapi pendapatan dari migas, baik melalui Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan migas maupun PPN dari produk turunannya.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Peran Strategis Pajak dalam APBN</h2>&nbsp;Pajak memainkan peran krusial dalam mendukung keberlanjutan APBN. Selain menjadi sumber utama pendapatan negara, pajak juga digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk mengatasi berbagai tantangan ekonomi. Berikut beberapa peran strategis pajak dalam APBN:&nbsp;<ol><li style="text-align:justify;">Mengurangi Ketergantungan pada Utang Penerimaan pajak yang memadai membantu pemerintah menekan kebutuhan pendanaan melalui utang. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas fiskal jangka panjang.</li><li style="text-align:justify;">Mendukung Dunia Usaha Kebijakan insentif pajak, seperti keringanan pajak untuk sektor UMKM dan industri strategis, mendorong pertumbuhan dunia usaha sekaligus menciptakan lapangan kerja.</li><li style="text-align:justify;">Melindungi Masyarakat Rentan Pembebasan pajak untuk kebutuhan pokok memastikan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah tetap terjaga. Misalnya, beras, daging, dan bahan pokok lain yang tetap bebas PPN pada 2024.</li><li style="text-align:justify;">Mendorong Investasi dan Konsumsi Pajak juga digunakan untuk mendorong investasi melalui insentif bagi sektor-sektor prioritas, sekaligus mengatur konsumsi barang tertentu untuk mendukung tujuan fiskal dan ekonomi.</li></ol>&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/4bfb26cf-5ccc-42c3-a690-82178cc70e8a/Pemerintah-Kurangi-Alokasi-Subsidi-Pajak-dalam-RAPBN-2025">Pemerintah Kurangi Alokasi Subsidi Pajak dalam RAPBN 2025</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tantangan dan Langkah Optimalisasi Pajak</h2>&nbsp;Meski peran pajak sangat strategis, Indonesia menghadapi tantangan dalam optimalisasi penerimaan pajak. Salah satunya adalah rendahnya rasio pajak (tax ratio), yang saat ini berkisar di angka 10,4%. Angka ini masih di bawah ambang batas yang direkomendasikan Bank Dunia, yakni 15% dari PDB.&nbsp;Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah dapat mengambil beberapa langkah, antara lain:&nbsp;<ul><li style="text-align:justify;">Digitalisasi Sistem Pajak: Meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan melalui teknologi digital untuk meminimalkan kebocoran dan memperluas basis pajak.</li><li style="text-align:justify;">Peningkatan Kepatuhan: Mengurangi penghindaran pajak melalui pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat.</li><li style="text-align:justify;">Penyederhanaan Regulasi: Mempermudah proses pelaporan dan pembayaran pajak untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.</li></ul>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Pajak Sebagai Pilar Keuangan Negara</h2>&nbsp;Asumsi Dasar Ekonomi Makro (ADEM) dalam APBN 2024 memberikan arah yang jelas bagi pemerintah untuk merancang kebijakan fiskal yang mendukung pembangunan nasional. Pajak, sebagai sumber utama penerimaan negara, memainkan peran strategis dalam mendukung keberlanjutan anggaran, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan keadilan sosial.&nbsp;Melalui kebijakan pajak yang terukur dan pengelolaan APBN yang efisien, Indonesia diharapkan mampu menjaga stabilitas fiskal sekaligus mempercepat pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Source: <a href="https://www.pajak.go.id/id/artikel/memahami-adem-secara-adem">DJP</a>&nbsp;</h3>&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Dalam penyusunan APBN 2024 yang dilakukan pada jelang akhir tahun 2023 lalu, Asumsi Dasar Ekonomi Makro (ADEM) menjadi kompas utama yang menentukan arah kebijakan ekonomi. Simak informasi selengkapnya!

Peran Strategis ADEM dan Pajak dalam APBN 2024

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) secara resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% untuk tahun 2025. Penetapan kenaikan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025 yang berlaku sejak 4 Desember 2024.&nbsp;&nbsp;Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan kenaikan upah minimum sebesar 6,5% pada Jumat, 29 November 2024, yang kemudian menjadi dasar penyusunan peraturan lebih lanjut. Penetapan kenaikan UMP 6,5% adalah langkah untuk memastikan kesejahteraan pekerja di seluruh wilayah Indonesia, terutama di daerah yang memiliki kontribusi ekonomi besar.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Rumus Perhitungan UMP 2025</h2>&nbsp;Penetapan UMP 2025 mengacu pada Pasal 2 ayat (2) Permenaker 16/2024, yang menetapkan rumus perhitungan sebagai berikut:&nbsp;UMP 2025 = UMP 2024 + Nilai Kenaikan UMP 2025&nbsp;Nilai kenaikan UMP 2025 berasal dari 6,5% dikalikan dengan UMP tahun 2024. Gubernur di seluruh provinsi wajib menetapkan UMP sesuai rumus perhitungan tersebut yang dihitung oleh dewan pengupahan provinsi.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Dasar Penetapan Kenaikan UMP 2025</h2>&nbsp;Pada Pasal 2 ayat (4) Permenaker 16/2024 dijelaskan bahwa kenaikan UMP 2025 dilakukan dengan mempertimbangkan tiga faktor, antara lain pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta indeks tertentu. Indeks tertentu yang dimaksud adalah kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak pekerja.&nbsp;&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Daftar Lengkap UMP 2025 Seluruh Provinsi&nbsp;</h2>&nbsp;Berikut adalah tabel daftar rincian Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 dibandingkan dengan UMP 2024 beserta kenaikannya:&nbsp;&nbsp;<figure class="table"><table><tbody><tr><td>Provinsi</td><td>UMP 2025</td><td>UMP 2024</td><td>Kenaikan</td></tr><tr><td>Aceh</td><td>Rp3.685.615</td><td>Rp3.460.672</td><td>Rp224.943</td></tr><tr><td>Bali</td><td>Rp2.996.560</td><td>Rp2.813.672</td><td>Rp182.888</td></tr><tr><td>Bangka Belitung</td><td>Rp3.876.600</td><td>Rp3.640.000</td><td>Rp236.600</td></tr><tr><td>Banten</td><td>Rp2.905.119</td><td>Rp2.727.812</td><td>Rp177.307</td></tr><tr><td>Bengkulu</td><td>Rp2.670.039</td><td>Rp2.507.079</td><td>Rp162.960</td></tr><tr><td>DI Yogyakarta</td><td>Rp2.264.080</td><td>Rp2.125.897</td><td>Rp138.183</td></tr><tr><td>DKI Jakarta</td><td>Rp5.396.761</td><td>Rp5.067.381</td><td>Rp329.380</td></tr><tr><td>Gorontalo</td><td>Rp3.221.731</td><td>Rp3.025.100</td><td>Rp196.631</td></tr><tr><td>Jambi</td><td>Rp3.234.533</td><td>Rp3.037.121</td><td>Rp197.412</td></tr><tr><td>Jawa Barat</td><td>Rp2.191.238</td><td>Rp2.057.495</td><td>Rp133.737</td></tr><tr><td>Jawa Tengah</td><td>Rp2.169.348</td><td>Rp2.036.947</td><td>Rp132.401</td></tr><tr><td>Jawa Timur</td><td>Rp2.305.984</td><td>Rp2.165.244</td><td>Rp140.740</td></tr><tr><td>Kalimantan Barat</td><td>Rp2.878.286</td><td>Rp2.702.616</td><td>Rp175.670</td></tr><tr><td>Kalimantan Selatan</td><td>Rp3.496.194</td><td>Rp3.282.812</td><td>Rp213.382</td></tr><tr><td>Kalimantan Tengah</td><td>Rp3.473.621</td><td>Rp3.261.616</td><td>Rp212.005</td></tr><tr><td>Kalimantan Timur</td><td>Rp3.579.313</td><td>Rp3.360.858</td><td>Rp218.455</td></tr><tr><td>Kalimantan Utara</td><td>Rp3.580.160</td><td>Rp3.361.653</td><td>Rp218.507</td></tr><tr><td>Kepulauan Riau</td><td>Rp3.623.653</td><td>Rp3.402.492</td><td>Rp221.161</td></tr><tr><td>Lampung</td><td>Rp2.893.068</td><td>Rp2.716.497</td><td>Rp176.571</td></tr><tr><td>Maluku</td><td>Rp3.141.699</td><td>Rp2.949.953</td><td>Rp191.746</td></tr><tr><td>Maluku Utara</td><td>Rp3.408.000</td><td>Rp3.200.000</td><td>Rp208.000</td></tr><tr><td>Nusa Tenggara Barat</td><td>Rp2.602.931</td><td>Rp2.444.067</td><td>Rp158.864</td></tr><tr><td>Nusa Tenggara Timur</td><td>Rp2.328.969</td><td>Rp2.186.826</td><td>Rp142.143</td></tr><tr><td>Papua</td><td>Rp4.285.847</td><td>Rp4.024.270</td><td>Rp261.577</td></tr><tr><td>Papua Barat</td><td>Rp3.613.847</td><td>Rp3.393.302</td><td>Rp220.545</td></tr><tr><td>Papua Barat Daya</td><td>Rp4.285.847</td><td>Rp4.024.270</td><td>Rp261.577</td></tr><tr><td>Papua Pegunungan</td><td>Rp4.285.847</td><td>Rp4.024.270</td><td>Rp261.577</td></tr><tr><td>Papua Selatan</td><td>Rp4.285.847</td><td>Rp4.024.270</td><td>Rp261.577</td></tr><tr><td>Papua Tengah</td><td>Rp4.285.847</td><td>Rp4.024.270</td><td>Rp261.577</td></tr><tr><td>Riau</td><td>Rp3.508.775</td><td>Rp3.294.625</td><td>Rp214.150</td></tr><tr><td>Sulawesi Barat</td><td>Rp3.104.430</td><td>Rp2.914.958</td><td>Rp189.472</td></tr><tr><td>Sulawesi Selatan</td><td>Rp3.657.527</td><td>Rp3.434.298</td><td>Rp223.229</td></tr><tr><td>Sulawesi Tengah</td><td>Rp2.914.583</td><td>Rp2.736.698</td><td>Rp177.885</td></tr><tr><td>Sulawesi Tenggara</td><td>Rp3.073.487</td><td>Rp2.885.964</td><td>Rp187.523</td></tr><tr><td>Sulawesi Utara</td><td>Rp3.775.425</td><td>Rp3.545.000</td><td>Rp230.425</td></tr><tr><td>Sumatera Barat</td><td>Rp2.994.193</td><td>Rp2.811.449</td><td>Rp182.744</td></tr><tr><td>Sumatera Selatan</td><td>Rp3.681.570</td><td>Rp3.456.874</td><td>Rp224.696</td></tr><tr><td>Sumatera Utara</td><td>Rp2.992.559</td><td>Rp2.809.915</td><td>Rp182.644</td></tr></tbody></table></figure>&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca Juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/796ac3e2-bcc6-45e0-8c93-2cb3909f822e/Catat!-Daftar-Makanan-yang-Akan-Kena-PPN-12-Persen-Mulai-tahun-2025">Catat! Daftar Makanan yang Akan Kena PPN 12% Mulai tahun 2025</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">UMP 2025 Tertinggi dan Terendah</h2>&nbsp;DKI Jakarta, sebagai pusat ekonomi nasional, mencatatakan posisi sebagai provinsi dengan UMP tertinggi di Indonesia sebesar Rp5.396.761. Sementara itu, Papua, bersama provinsi baru seperti Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, Papua Selatan, dan Papua Tengah, tercatat sebagai UMP tertinggi kedua di angka Rp4.285.847. Untuk UMP terendah, provinsi Jawa Tengah masih mencatatkan upah terendah di tahun 2025 sebesar Rp2.169.348.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Respons Terhadap Kenaikan UMP 2025</h2>&nbsp;Kenaikan UMP ini diharapkan mampu mendorong daya beli pekerja di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi. Namun, di sisi lain, pelaku usaha di berbagai sektor turut mengingatkan perlunya keseimbangan antara upah dan produktivitas. Beberapa pengusaha menilai bahwa kenaikan UMP harus disertai dengan peningkatan kapasitas pekerja atau buruh agar perusahaan tetap mampu bersaing secara efisien.&nbsp;Ekonom juga menyarankan agar pemerintah daerah terus mendorong investasi dan pengembangan sektor industri untuk menyerap tenaga kerja lebih banyak serta memastikan keberlanjutan ekonomi daerah.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Dampak Kenaikan UMP Bagi Pekerja dan Pengusaha</h2>&nbsp;Dengan adanya penyesuaian ini, diharapkan pekerja/buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). Di sisi lain, pemerintah juga mengimbau perusahaan untuk menyesuaikan kebijakan operasional dan menjaga keseimbangan ekonomi agar tidak berdampak negatif pada kinerja bisnis. Peningkatan upah juga diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi regional melalui peningkatan konsumsi domestik pada provinsi masing-masing.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) secara resmi menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5% untuk tahun 2025.

Kenaikan Upah Minimum Resmi Ditetapkan, Ini Daftar Lengkap UMP 2025 di 38 Provinsi! 

<h2 style="text-align:justify;">Kebijakan Baru: PPN Naik, Inflasi Tetap Terkendali</h2>&nbsp;Dengan berlakunya <a href="https://www.pajakku.com/tax-guide/12368/UU/7-TAHUN-2021">UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)</a>, masyarakat perlu bersiap dengan kenaikan harga barang dan jasa sebesar 1% akibat peningkatan tarif PPN. Kebijakan ini didasarkan pada <a href="https://www.pajakku.com/tax-guide/12368/UU/7-TAHUN-2021">Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021</a> untuk meningkatkan pendapatan negara dan menjaga stabilitas ekonomi. Meski demikian, kenaikan PPN ini memicu diskusi mengenai dampaknya terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan tabungan masyarakat.&nbsp;Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Aida S Budiman, menyampaikan bahwa dampak kenaikan PPN terhadap inflasi domestik relatif terbatas. Ia menjelaskan bahwa barang dan jasa yang terkena PPN 12 persen umumnya merupakan barang premium, seperti bahan makanan dan jasa pelayanan kesehatan eksklusif, serta listrik rumah tangga dengan kapasitas tinggi. Menurut survei biaya hidup tahun 2022, barang-barang ini hanya mencakup 52,7 persen dari total indeks harga konsumen (IHK). Dampak kenaikan PPN diperkirakan akan menambah inflasi sebesar 0,2 persen, yang tetap dalam batas target inflasi BI sebesar 1,5-3,5 persen.<h2 style="text-align:justify;">&nbsp;</h2>&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Faktor Lain yang Menjaga Stabilitas Inflasi</h2>&nbsp;Selain dampak kenaikan PPN, BI mencatat adanya penurunan harga komoditas global yang turut membantu menjaga inflasi tetap terkendali. BI berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan stabilitas harga pangan, yang sering kali menjadi faktor utama kenaikan inflasi.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/84139b6f-60e4-4e72-8c0e-f9b760afbaa7/Berapa-Target-Sasaran-Inflasi-Tahun-2025-2026-dan-2027">Berapa Target Sasaran Inflasi Tahun 2025, 2026, dan 2027?</a></h3>&nbsp;&nbsp;Aida juga menyebut bahwa dampak kenaikan PPN terhadap pertumbuhan ekonomi relatif kecil, hanya berkisar antara 0,02 hingga 0,03 persen. Berbagai insentif pemerintah, seperti penghapusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan kebijakan stimulus lainnya, akan membantu meminimalkan dampak negatif terhadap ekonomi.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Suku Bunga BI dan Stabilitas Nilai Tukar</h2>&nbsp;Untuk mendukung stabilitas ekonomi, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa kebijakan moneter akan terus diarahkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memastikan inflasi tetap dalam target. Perry menjelaskan bahwa ketidakpastian global, termasuk kebijakan moneter Amerika Serikat dan eskalasi geopolitik, menjadi tantangan utama yang memengaruhi nilai tukar rupiah.&nbsp;Sampai 17 Desember 2024, nilai tukar rupiah terdepresiasi 1,37 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Meski demikian, depresiasi ini masih lebih kecil dibandingkan mata uang regional lain seperti dolar Taiwan, peso Filipina, dan won Korea. BI terus memantau pergerakan nilai tukar dan akan mempertimbangkan ruang penyesuaian suku bunga jika diperlukan.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Dampak pada Dunia Usaha dan Harapan Stimulus</h2>&nbsp;Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani, menjelaskan bahwa pelaku usaha menghormati kebijakan suku bunga BI. Namun, ia berharap kebijakan ini tidak hanya fokus pada stabilitas, tetapi juga mendukung daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks pelemahan pasar saat ini, penurunan suku bunga dinilai lebih kondusif untuk mendorong konsumsi dan investasi, terutama di sektor riil.&nbsp;Shinta menambahkan bahwa stabilitas nilai tukar juga menjadi faktor penting. Jika nilai tukar melemah terlalu cepat, hal ini dapat menciptakan beban baru bagi pelaku usaha. Idealnya, kebijakan pemerintah perlu lebih efektif dalam mendorong ekspor dan penanaman modal langsung agar tidak hanya mengandalkan suku bunga BI untuk menstimulasi ekonomi.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Pengaruh pada Tabungan Masyarakat</h2>&nbsp;Kenaikan PPN juga berdampak pada tren tabungan masyarakat. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, menyebut bahwa kenaikan PPN ini menunjukkan kebutuhan pemerintah untuk menutupi anggaran. Namun, ia mencatat bahwa dana yang masuk ke pemerintah tidak langsung berdampak pada sistem keuangan, sehingga pertumbuhan tabungan masyarakat akan melambat dalam jangka pendek.&nbsp;Menurut Purbaya, proyeksi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada 2025 berada di kisaran 6-7 persen, dengan kenaikan PPN sebagai salah satu faktor yang memengaruhi. Ia menekankan bahwa efek kenaikan PPN pada ekonomi akan terlihat lebih signifikan jika dana tersebut digunakan secara efisien untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.<h2 style="text-align:justify;">&nbsp;</h2>&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/677e636b-6021-4d12-9a57-d5af4db3c8a5/Daftar-Lengkap-Insentif-Stimulus-Ekonomi-2025-dalam-Menghadapi-PPN-12-Persen">Daftar Lengkap Insentif Stimulus Ekonomi 2025 dalam Menghadapi PPN 12%</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Pentingnya Kebijakan Terintegrasi</h2>&nbsp;Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 adalah langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah tantangan ekonomi global. Meski dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi relatif kecil, kebijakan ini tetap menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi pelaku usaha dan masyarakat umum.&nbsp;Pemerintah perlu memastikan bahwa kenaikan PPN disertai dengan kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat dan keberlanjutan dunia usaha. Sinergi antara BI dan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi, nilai tukar, dan inflasi menjadi kunci keberhasilan implementasi kebijakan ini. Dengan langkah yang tepat, dampak negatif kenaikan PPN dapat diminimalkan, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Aida S Budiman, menyampaikan bahwa dampak kenaikan PPN terhadap inflasi domestik relatif terbatas.Yuk, simak informasi selengkapnya!

Inflasi Tetap Stabil Meski PPN Naik? Ini Penjelasan Bank Indonesia

<h2 style="text-align:justify;">PPN Naik Jadi 12% di 2025, Efektifkah Meningkatkan Tax Ratio?</h2>&nbsp;Indonesia bersiap memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini diambil pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, khususnya melalui peningkatan rasio pajak (tax ratio). Namun, menurut laporan Bank Dunia dan beberapa pengamat, efektivitas kebijakan ini masih dipertanyakan mengingat rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tergolong rendah dibandingkan negara lain.&nbsp;Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa kebijakan kenaikan PPN ini dirancang untuk menyeimbangkan asas keadilan dan gotong royong. Tarif 12% hanya dikenakan pada barang dan jasa premium yang dikonsumsi oleh masyarakat mampu. Di sisi lain, barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, telur, susu, dan jasa pendidikan, kesehatan, serta keuangan tetap bebas PPN. Beberapa barang seperti minyak goreng dan tepung terigu akan tetap dikenakan PPN 11%.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Kritik Bank Dunia: Tax Ratio Indonesia Masih Rendah</h2>&nbsp;Meski tarif PPN dinaikkan, tax ratio Indonesia—yang menggambarkan kontribusi penerimaan pajak terhadap PDB—masih jauh dari standar yang direkomendasikan Bank Dunia. Saat ini, tax ratio Indonesia berada di kisaran 10,4%, jauh di bawah ambang batas 15% yang dianggap penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan mengurangi kemiskinan.&nbsp;Bank Dunia dalam laporannya menyebut bahwa tax ratio yang rendah mencerminkan adanya kesenjangan dalam pemungutan pajak. Laporan tersebut menunjukkan bahwa potensi pajak Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan, dengan selisih sekitar 6 poin persentase dibandingkan negara-negara serupa. Menurut Bank Dunia, hal ini disebabkan oleh efisiensi pemungutan pajak yang rendah serta kompleksitas dalam sistem perpajakan.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/2d8b7614-d1f9-40e9-a7e8-11c46af63901/Bank-Dunia-Anjurkan-Penurunan-Ambang-Batas-Omzet-PKP">Bank Dunia Anjurkan Penurunan Ambang Batas Omzet PKP</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tax Ratio dan Kesenjangan dengan Negara Lain</h2>&nbsp;Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan bahwa secara teori, Indonesia seharusnya mampu mencapai tax ratio sebesar 12,2% dari PDB jika belanja perpajakan (subsidi dan pembebasan pajak) senilai Rp445,5 triliun dioptimalkan. Namun, kebijakan pembebasan pajak yang dimaksudkan untuk mendukung perekonomian masyarakat membuat potensi ini belum tercapai.&nbsp;<a href="https://www.cnbcindonesia.com/research/20241216162155-128-596416/bank-dunia-kritik-keras-pajak-ri-negara-rugi-besar">CNBC Indonesia</a> melakukan komparasi terhadap beberapa negara dengan ekonomi serupa seperti Brasil, Afrika Selatan, dan Filipina memiliki tax ratio yang lebih tinggi, dengan selisih positif antara tarif PPN dan rasio penerimaan pajak. Delta positif ini mencerminkan efektivitas sistem perpajakan mereka dalam mengumpulkan pendapatan negara. Sementara itu, Indonesia memiliki delta negatif sebesar -0,6%, yang berarti bahwa tarif PPN lebih tinggi daripada kontribusi penerimaan pajak terhadap PDB.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Efisiensi C PPN Indonesia: Jauh di Bawah Standar</h2>&nbsp;Lebih lanjut, rendahnya kontribusi PPN terhadap penerimaan pajak juga tercermin dari penurunan C-Efficiency, yaitu rasio antara penerimaan PPN dengan konsumsi akhir. Semakin rendah nilai ini, semakin besar kesenjangan antara potensi pendapatan PPN dan realisasi penerimaan.&nbsp;Di Indonesia, C-Efficiency menurun dari rata-rata 52,8% pada periode 2016–2021 menjadi 44,5% selama pandemi Covid-19. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Penurunan ini menandakan bahwa banyak potensi penerimaan PPN yang belum dimanfaatkan secara optimal, baik karena pengecualian pajak maupun lemahnya sistem pemungutan.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Masalah PPh Badan: Potensi Pendapatan yang Belum Maksimal</h2>&nbsp;Selain PPN, Pajak Penghasilan (PPh) Badan juga menghadapi masalah serupa. Antara 2016 dan 2021, rata-rata penerimaan PPh Badan Indonesia hanya mencapai 42% dari potensi yang ada. Kebijakan seperti tarif yang lebih rendah untuk perusahaan dengan omzet kecil dan diskon tarif pajak untuk perusahaan publik menjadi salah satu penyebab utamanya.&nbsp;Pada 2020, dampak pandemi memperburuk situasi dengan penurunan pendapatan PPh Badan sekitar 35%, menambah kesenjangan antara potensi dan realisasi penerimaan. Selain itu, tantangan kepatuhan pajak dan praktik penghindaran pajak oleh perusahaan turut berkontribusi pada rendahnya penerimaan PPh Badan. Banyak perusahaan kecil yang tidak mengekspor dan menghadapi persaingan ketat dari sektor informal sering kali menganggap administrasi pajak sebagai hambatan utama bisnis mereka, yang mendorong mereka untuk menghindari kewajiban perpajakan.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/2745ab6f-5c9b-409d-b4c1-bfa8c0a5c020/Target-Pertumbuhan-Ekonomi-dan-Tax-Ratio-dalam-RPJMN-2025-2029-dan-RKP-2025">Target Pertumbuhan Ekonomi dan Tax Ratio dalam RPJMN 2025-2029 dan RKP 2025</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Langkah Menuju Reformasi Pajak</h2>&nbsp;Kritik terhadap rendahnya tax ratio dan efisiensi pemungutan pajak di Indonesia menjadi pendorong bagi pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan termasuk menyederhanakan sistem perpajakan, meningkatkan transparansi, serta memperkuat penegakan hukum terhadap penghindaran pajak.&nbsp;Selain itu, pemerintah juga perlu fokus pada pengembangan sistem data pajak yang lebih terintegrasi untuk memantau aktivitas ekonomi, termasuk transaksi di sektor informal. Upaya untuk meningkatkan moral pajak melalui edukasi kepada masyarakat juga menjadi hal penting untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.<h2 style="text-align:justify;">&nbsp;</h2>&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Meningkatkan Potensi Pajak untuk Masa Depan</h2>&nbsp;Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 menunjukkan langkah ambisius pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, kritik dari Bank Dunia dan data tax ratio Indonesia menggarisbawahi bahwa tarif pajak tinggi saja tidak cukup tanpa diiringi perbaikan dalam efisiensi pemungutan dan pengelolaan pajak.&nbsp;Dengan potensi pajak yang masih besar dan sistem perpajakan yang perlu diperbaiki, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Upaya ini tidak hanya akan mendukung pembiayaan pembangunan tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di pasar kredit internasional.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Bank Dunia dalam laporannya menyebut bahwa tax ratio yang rendah mencerminkan adanya kesenjangan dalam pemungutan pajak.Simak bagaimana Bank Dunia mengkritik kebijakan pajak Indonesia yang baru

Kritik Bank Dunia Terhadap Pajak Indonesia, Apa yang Salah?

Harga jual eceran (HJE) rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dipastikan mengalami kenaikan per 1 Januari 2025. Kebijakan ini diatur dalam&nbsp;<a href="https://www.pajakku.com/tax-guide/f82c958a-786c-48c6-88c4-4b2d3641b302/PER_MENKEU/96-TAHUN-2024">Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2024</a>. Kenaikan harga rokok elektrik dan HPTL yang ditetapkan bervariasi, mulai dari 5,99% hingga 22,03%, tergantung jenis produk tembakaunya.&nbsp;Menariknya, meskipun harga jual eceran naik, tarif cukai hasil tembakau tidak mengalami perubahan.&nbsp;Langkah ini diharapkan dapat memberikan dampak positif baik dari segi kesehatan masyarakat maupun optimalisasi penerimaan negara.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tujuan Kenaikan Harga Jual Rokok</h2>&nbsp;Pemerintah memutuskan untuk meningkatkan harga rokok guna mencapai beberapa tujuan strategis, termasuk:<ul style="list-style-type:disc;"><li style="text-align:justify;">Pengendalian Konsumsi Tembakau Pemerintah berupaya menekan konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya yang berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat.</li></ul>&nbsp;<ul style="list-style-type:disc;"><li style="text-align:justify;">Perlindungan Industri Padat Karya Tradisional&nbsp; Kenaikan HJE tidak akan berdampak langsung pada industri hasil tembakau, khususnya yang masih menggunakan cara produksi manual.</li></ul>&nbsp;<ul style="list-style-type:disc;"><li style="text-align:justify;">Optimalisasi Penerimaan Negara&nbsp; Dengan adanya kenaikan harga jual eceran, pemerintah berharap dapat meningkatkan penerimaan negara melalui sektor hasil tembakau.</li></ul>&nbsp;Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga menyatakan bahwa kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menekan konsumsi barang yang berpotensi membahayakan kesehatan. Menurut Airlangga, dengan menaikkan harga jual, masyarakat diharapkan lebih mengurangi pembelian produk tembakau. Ia juga menambahkan bahwa kenaikan harga rokok ini tidak akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia.&nbsp;&nbsp;<blockquote>“Ya, tentu kan kita berharap barang-barang yang untuk (membahayakan) kesehatan itu supaya dikurangin. Prinsipnya itu aja,”ujarnya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Jumat, 13 Desember 2024.</blockquote>&nbsp;&nbsp;<h3>Baca Juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/60fbd152-096f-472c-98d8-79b7b772450a/Harga-Rokok-Naik-Penerimaan-Negara-Diprediksi-Turun">Harga Rokok Naik, Penerimaan Negara Diprediksi Turun?</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Daftar Harga Rokok Elektrik dan Produk Tembakau Tahun 2025</h2>&nbsp;Berikut ini adalah harga jual eceran (HJE) minimum rokok elektrik (REL) dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2025:&nbsp;<figure class="table"><table><tbody><tr><td>No.</td><td>Jenis Hasil Tembakau</td><td>Satuan</td><td>Harga Jual Rokok Minimum Tahun 2025</td><td>Harga Jual Rokok Minimum Tahun 2024</td><td>Kenaikan</td><td>Persentase Kenaikan</td></tr><tr><td rowspan="4">1</td><td colspan="6">Rokok Elektrik, berupa</td></tr><tr><td>a. Rokok Elektrik Padat</td><td>Per Gram</td><td>Rp 6.240</td><td>Rp 5.886</td><td>Rp 354</td><td>6,01%</td></tr><tr><td>b. Rokok Elektrik Cair Sistem Terbuka</td><td>Per Mililiter</td><td>Rp 1.368</td><td>Rp 1.121</td><td>Rp 247</td><td>22,03%</td></tr><tr><td>c. Rokok Elektrik Cair Sistem Tertutup</td><td>Per Catridge</td><td>Rp 41.983</td><td>Rp 39.607</td><td>Rp 2.376</td><td>5,99%</td></tr><tr><td rowspan="4">2</td><td colspan="6">Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya, berupa</td></tr><tr><td>a. Tembakau Molasses</td><td>Per Gram</td><td>Rp 257</td><td>Rp 242</td><td>Rp 15</td><td>6,19%</td></tr><tr><td>b. Tembakau Hirup</td><td>Per Gram</td><td>Rp 257</td><td>Rp 242</td><td>Rp 15</td><td>6,19%</td></tr><tr><td>c. Tembakau Kunyah</td><td>Per Gram</td><td>Rp 257</td><td>Rp 242</td><td>Rp 15</td><td>6,19%</td></tr></tbody></table></figure>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Dampak Kebijakan Bagi Industri dan Konsumen</h2>&nbsp;Kenaikan HJE ini tidak hanya memengaruhi konsumen tetapi juga pelaku industri. Bagi konsumen, kebijakan ini berpotensi menurunkan daya beli terhadap produk tembakau dan mendorong peralihan ke produk yang lebih terjangkau atau bahkan mengurangi konsumsi rokok secara keseluruhan. Sementara itu, bagi pelaku industri, kebijakan ini dapat menjadi tantangan karena harus menyesuaikan strategi bisnis dengan harga yang lebih tinggi.&nbsp;Namun, pemerintah optimistis bahwa kebijakan ini tidak akan merugikan secara signifikan, terutama karena rokok elektrik dan HPTL masih memiliki pasar yang cukup besar di Indonesia. Selain itu, langkah ini juga dipandang sebagai bentuk perlindungan terhadap industri kecil yang masih memproduksi tembakau dengan metode tradisional.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tantangan Kenaikan Harga Rokok 2025</h2>&nbsp;Kenaikan harga jual rokok menjadi langkah penting pemerintah dalam upaya menciptakan keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri tembakau. Meski demikian, efektivitas kebijakan ini akan sangat bergantung pada penerapan pengawasan dan koordinasi antarinstansi terkait. Selain itu, tantangan lainnya adalah mencegah peredaran rokok ilegal yang dapat muncul sebagai dampak dari kenaikan harga rokok legal.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Harga jual eceran (HJE) rokok elektrik dan hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dipastikan mengalami kenaikan per 1 Januari 2025.

Daftar Lengkap Harga Rokok Elektrik Tahun 2025 sesuai PMK 96/2024

<h2 style="text-align:justify;">Kebijakan Baru: PPN 12% untuk Barang dan Jasa Mewah</h2>&nbsp;Pemerintah Indonesia akan resmi memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi fiskal untuk meningkatkan penerimaan negara dan diterapkan secara selektif pada barang dan jasa mewah. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa fokus penerapan PPN 12% ini adalah pada kelompok masyarakat dengan pengeluaran tertinggi, yakni desil 9 dan 10, yang dianggap mampu membayar lebih untuk barang-barang premium.&nbsp;Sri Mulyani menjelaskan bahwa barang-barang kebutuhan dasar masyarakat, seperti beras dan daging dengan harga terjangkau, tetap bebas dari PPN atau dikenai tarif lebih rendah. Namun, barang dan jasa yang dikategorikan sebagai premium, seperti makanan impor dan layanan eksklusif, akan dikenakan tarif penuh sebesar 12%.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Makanan Premium yang Kena PPN 12%</h2>&nbsp;Beberapa jenis makanan mewah yang sebelumnya tidak dikenakan PPN kini masuk dalam daftar barang yang akan dikenakan tarif 12%. Salah satu contohnya adalah daging sapi premium seperti wagyu dan kobe. Daging jenis ini sering dijual dengan harga di atas Rp2,5 juta hingga Rp3 juta per kilogram. Kebijakan ini memastikan bahwa barang-barang dengan harga tinggi dikenakan pajak sesuai asas keadilan, tanpa membebani masyarakat umum yang mengonsumsi daging dengan harga sekitar Rp150.000–Rp200.000 per kilogram.&nbsp;Selain daging premium, beberapa jenis bahan makanan lain juga masuk dalam daftar barang kena PPN 12%. Misalnya:&nbsp;<ul><li style="text-align:justify;">Beras premium: Jenis beras dengan kualitas tinggi dan harga jauh di atas rata-rata.</li><li style="text-align:justify;">Buah-buahan premium: Buah impor dengan harga tinggi seperti ceri, anggur premium, dan alpukat impor.</li><li style="text-align:justify;">Ikan premium: Termasuk salmon, tuna premium, dan king crab, yang umumnya dikonsumsi oleh segmen masyarakat menengah ke atas.</li><li style="text-align:justify;">Udang premium dan crustacea: Seperti lobster dan udang galah.</li></ul>&nbsp;Kebijakan ini diharapkan memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak negara, sekaligus mengurangi kesenjangan dalam beban pajak.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga: <a href="https://www.pajakku.com/read/8574cf49-d0ce-48a5-9019-5b3edcd8c77a/Mengenal-Perbedaan-PPN-dan-Pajak-Restoran">Mengenal Perbedaan PPN dan Pajak Restoran</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Jasa Mewah yang Juga Kena PPN 12%</h2>&nbsp;Tidak hanya barang, jasa tertentu juga akan dikenakan tarif PPN 12%. Layanan yang dianggap mewah atau bersifat eksklusif menjadi target dalam kebijakan ini. Beberapa contoh jasa yang akan terkena tarif PPN penuh meliputi:&nbsp;<ul><li style="text-align:justify;">Pendidikan internasional: Sekolah berstandar internasional yang umumnya memiliki biaya tinggi.</li><li style="text-align:justify;">Layanan kesehatan VIP: Fasilitas rumah sakit kelas atas dengan layanan khusus bagi pasien kelas premium.</li><li style="text-align:justify;">Listrik premium: Pelanggan rumah tangga dengan daya listrik 3.500–6.600 VA juga masuk dalam kategori ini.</li></ul>&nbsp;Sri Mulyani menegaskan bahwa layanan dasar seperti pendidikan reguler dan rumah sakit umum tetap bebas PPN, untuk memastikan kebijakan ini tidak membebani masyarakat berpenghasilan rendah.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Mengapa PPN 12% Diterapkan?</h2>&nbsp;Pemerintah mengambil langkah ini untuk memastikan bahwa penerimaan pajak lebih seimbang dan adil. Sri Mulyani menjelaskan bahwa PPN 12% hanya dikenakan pada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi. Strategi ini sejalan dengan prinsip gotong royong dan asas keadilan dalam kebijakan perpajakan.&nbsp;Kebijakan ini juga merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk memperluas basis pajak, mengurangi ketergantungan pada pendapatan dari sektor tertentu, serta meningkatkan rasio pajak (tax ratio). Saat ini, rasio pajak Indonesia masih berada di bawah standar internasional, dengan angka sekitar 10,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Diharapkan, dengan adanya kebijakan ini, tax ratio dapat meningkat secara signifikan.&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Tanggapan Publik dan Potensi Dampak</h2>&nbsp;Kebijakan ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Sebagian pihak mendukung langkah pemerintah yang berfokus pada barang dan jasa premium, karena dianggap tidak membebani mayoritas masyarakat. Namun, ada pula yang mengkritik bahwa pengenaan PPN pada layanan tertentu seperti listrik untuk pelanggan premium dapat berdampak pada kelompok menengah yang menggunakan daya listrik 3.500 VA ke atas.&nbsp;Di sisi lain, kebijakan ini dapat mendorong pelaku usaha untuk lebih transparan dalam pelaporan pajak, sekaligus memberikan sinyal kepada masyarakat tentang pentingnya kontribusi pajak bagi pembangunan negara. Pemerintah juga diharapkan memastikan penerapan kebijakan ini dilakukan dengan pengawasan yang ketat, agar tidak terjadi praktik penghindaran pajak.&nbsp;&nbsp;<h3>Baca juga:<a href="https://www.pajakku.com/read/735bff2b-8d82-42a8-9d5f-fb10d8ab80f3/Vietnam-Turunkan-PPN-Indonesia-Fokus-pada-Insentif-Fiskal-Besar-Besaran-di-2025"> Vietnam Turunkan PPN, Indonesia Fokus pada Insentif Fiskal Besar-Besaran di 2025</a></h3>&nbsp;&nbsp;<h2 style="text-align:justify;">Langkah Strategis Menuju Sistem Pajak yang Lebih Adil</h2>&nbsp;Penerapan PPN 12% pada barang dan jasa mewah mulai 1 Januari 2025 adalah bagian dari langkah pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan fokus pada segmen premium, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat umum.&nbsp;Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada pelaksanaan di lapangan dan dukungan dari semua pihak, termasuk pelaku usaha dan masyarakat. Dengan pengawasan yang baik, kebijakan ini tidak hanya akan mendukung stabilitas fiskal, tetapi juga memperkuat prinsip keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia.&nbsp;&nbsp;<h3 style="text-align:justify;">Baca juga Berita dan Artikel Pajakku lainnya di <a href="https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMJbsxQswuYfdAw?ceid=ID:en&amp;oc=3&amp;hl=en-ID&amp;gl=ID">Google News</a></h3>

Pemerintah mengumumkan bahwa barang dan jasa yang dikategorikan sebagai premium, seperti makanan impor dan layanan eksklusif, akan dikenakan tarif penuh sebesar 12%. Apa saja makanan tersebut?